Pajak Penghasilan (PPh) merupakan salah satu jenis pajak yang dikenakan atas usaha waralaba atau biasa dikenal dengan franchise. Sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 71 Tahun 2019, usaha waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba.
Aspek PPh Usaha Waralaba
Aspek PPh usaha waralaba atau franchise yang dilakukan di Indonesia lebih dari 183 hari oleh orang pribadi atau badan yang berasal dari luar negeri atau dilakukan oleh warga asing, dianggap sebagai Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang ketentuan pajak usahanya diperlakukan seperti subjek pajak dalam negeri. Bagi suatu badan maupun orang pribadi dalam negeri yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif diwajibkan mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Setelah mendapatkan NPWP, maka Wajib Pajak Perusahaan Jasa wajib menyetorkan dan melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) PPh Tahunan dan SPT Bulanan.
1. PPh Tahunan
Setiap 4 bulan setelah berakhirnya tahun pajak, Wajib Pajak usaha franchise wajib melaporkan SPT PPh Tahunan Badan. Tarif PPh badan pada umumnya dikenakan yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 17 Undang Undang Nomor 36 Tahun 2008. Namun bagi Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp 50 miliar mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif pada umumnya yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4,8 Miliar. Kemudian terhadap Wajib Pajak usaha franchise berupa Wajib Pajak Orang Pribadi wajib menghitung, membayar dan melaporkan SPT PPh Tahunan yang dilaporkan setiap 3 bulan setelah berakhirnya tahun pajak. Tarif yang dikenakan terhadap Wajib Pajak Orang Pribadi yaitu tarif progresif.
2. PPh Masa bagi Wajib Pajak Usaha Franchise Berupa Badan
Kewajiban pajak bulanan yang harus dilakukan oleh Wajib Pajak usaha franchise yaitu membayar dan melapor SPT PPh 25 atas angsuran pajak, SPT PPh 4 ayat 2 atas penghasilan yang dikenakan pajak bersifat final, SPT PPh 21 atas pemotongan pajak pada penghasilan yang diterima oleh pegawai maupun bukan pegawai, SPT PPh 22 sebagai pemungut apabila diwajibkan untuk memungut PPh 22, PPh 23 atas pemotongan pajak pada penghasilan berupa bunga, royalti, hadiah, dividen, sewa dan jasa.
Perlakuan PPh atas Usaha Waralaba
Terkait dengan usaha waralaba, terdapat objek PPh berupa royalti atas pemanfaatan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang terkait dengan usaha seperti merek dan/atau hak cipta dan/atau paten dan/atau lisensi dan/atau rahasia dagang sudah didaftarkan dan mempunyai sertifikat atau sedang dalam proses pendaftaran di instansi yang berwenang. Atas royalti tersebut dapat dikenakan PPh Pasal 23 atau PPh Pasal 26.
(Baca juga: Studi Kasus Perhitungan Pajak Waralaba)
Dikenakan PPh Pasal 23 jika royalti atas pemanfaatan HKI yang berasal dari dalam negeri, di mana transaksi tersebut dilakukan oleh Wajib Pajak Badan. Tarif PPh Pasal 23 yang dikenakan yaitu 15% dari penghasilan bruto. Royalti berdasarkan PPh Pasal 23 dapat diartikan sebagai:
PPh Pasal 23 atas royalti merupakan pajak yang dikenakan atas imbalan yang diterima oleh Wajib Pajak Badan sehubungan dengan:
- Penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang sastra, kesenian atau karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, merek dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual/ industrial atau hak serupa lainnya.
- Penggunaan atau hak menggunakan peralatan/ perlengkapan industrial, komersial, atau ilmiah.
- Pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknik, industri, atau komersial.
- Penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture films), film atau pita video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio.
- Pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan atau hak menggunakan hak-hak, penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan, atau pemberian pengetahuan atau informasi, berupa:
- Penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, yang disalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa.
- Penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, untuk siaran televisi atau radio yang disiarkan/ dipancarkan melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa.
- Penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum radio komunikasi.
- Pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan penggunaan atau pemberian hak kekayaan intelektual/ industrial atau hak-hak lainnya sebagaimana tersebut di atas.
Namun dikenakan PPh Pasal 26 atas royalti jika pemanfaatan HKI berasal dari luar negeri. Royalti yang merupakan objek pajak PPh Pasal 26 selain merek atau franchise fee, dapat juga berupa penggunaan peralatan yang bersifat royalti. Objek PPh Pasal 26 lainnya dapat berupa penggunaan peralatan yang tergolong penghasilan dari usaha dan penjualan peralatan. Tarif PPh Pasal 26 yang dikenakan yaitu 20% atau tarif yang diatur dalam tax treaty. Tax treaty atau Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda, merupakan perjanjian pajak antara dua negara yang mengatur mengenai pembagian hak pemajakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh penduduk salah satu atau kedua negara pihak pada persetujuan, di mana pembagian hak pemajakan tersebut diatur dengan tujuan untuk mencegah seminimal mungkin terjadinya pengenaan pajak berganda. Jika negara lawan transaksi memiliki tax treaty, atas royalti tidak berlaku ketentuan time test untuk menentukan hak pemajakan.
Setelah mengetahui lebih detail terkait PPh yang terdapat dalam usaha waralaba atau franchise, kelola pajak Anda menggunakan aplikasi gratis pajak.io agar lebih mudah dan cepat.
(Baca juga: Pajak.io Hadir Sebagai Solusi Perpajakan Anda)