Dalam menghasilkan karya arsitektur, tentu akan menggunakan jasa dari Arsitek. Nah, penghasilan dari seorang arsitek termasuk salah satu objek yang dikenakan pajak. Pengenaan pajaknya dilihat dari cara catatan keuangan dan sumber penghasilannya. Bagaimana cara menghitung pajak arsitek? Simak ulasannya dibawah ini.
Definisi Arsitek
Arsitek adalah seseorang yang melakukan praktik arsitek, yaitu penyelenggaraan kegiatan untuk menghasilkan karya Arsitektur. Lingkup layanan praktik arsitek meliputi:
- Penyusunan studi awal arsitektur;
- Perancangan bangunan gedung dan lingkungannya;
- Pelestarian bangunan gedung dan lingkungannya;
- Perancangan tata bangunan dan lingkungannya; dan/atau
- Penyusunan dokumen perencanaan teknis.
Penghitungan Pajak Arsitek
Berikut adalah cara penghitungan pajak arsitek:
- Arsitek yang menggunakan pembukuan:
Penghasilan Neto= Penghasilan Bruto – Biaya Usaha (biaya-biaya yang digunakan sehubungan dengan mendapatkan, menagih, dan meÂmelihara penghasilan/berkaitan langsung dengan kegiatan usaha)
- Arsitek yang menggunakan pencatatan:
Penghasilan Neto= Norma x Penghasilan Bruto
Penghasilan netto – Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) = Penghasilan Kena Pajak Penghasilan Kena Pajak x tarif Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 17 = PPh terutang
(Baca juga: Adakah PTKP dalam Perhitungan PPh 21?)
Berikut tarif PPh Pasal 17:
Lapisan Penghasilan Kena Pajak | Tarif Pajak |
Sampai dengan Rp 50.000.000 | 5% |
di atas Rp 50.000.000 sampai dengan Rp 250.000.000 | 15% |
di atas Rp 250.000.000 sampai dengan Rp 500.000.000 | 25% |
di atas Rp 500.000.000 | 30% |
- Atas jasa arsitektur, pemberi kerja harus melakukan pemotongan PPh 21 atas tenaga ahli dengan melihat ketentuan berikut:
- Apabila arsitek menerima penghasilan semata-mata dari satu pemberi penghasilan yang bersifat berkesinambungan maka pemotongannya:
Dasar Pengenaan Pajak (DPP) = (Penghasilan x 50%) – PTKP Per Bulan
PPh Terutang = DPP x Tarif Pajak
2. Apabila arsitek menerima penghasilan yang tidak bersifat berkesinambungan atau menerima penghasilan yang berkesinambungan dan mempunyai penghasilan lain maka pemotongannya sebagai berikut:
DPP = (Penghasilan x 50%)
PPh Terutang = DPP x Tarif Pajak
Setelah pendapatan Arsitek dipotong oleh pemberi kerja, maka:
- Arsitek akan mendapatkan bukti potong PPh Pasal 21 tersebut yang dapat digunakan untuk kredit pajak sehingga bisa mengurangi PPh yang harus dibayar pada SPT Tahunan.
- Apabila pemberi kerja menggunakan arsitek asing maka dilakukan pemotongan PPh Pasal 26 dengan tarif pajak 20% atau dengan tarif sesuai dengan tax treaty yang berÂlaku.
- Apabila arsitek memberikan jasa ke luar negeri, maka bukti potong atas penghasilan jasa luar negeri dapat dikreditkan selama sesuai dengan peraturan perpajakan.
(Baca juga: Pahami Apa Itu Tax Treaty)
Contoh Penghitungan Pajak Arsitek
Tuan Abdullah adalah seorang arsitek pada bulan Maret 2017 menerima Fee sebesar Rp 30.000.000 dari PT Pembangunan Perumahan sebagai imbalan pemberian jasa atas desain rumah proyek Bougenville Estate. Bapak Hafiz menerima bukti potong PPh Pasal 21:
Rp 30.000.000 x 50% x 5% = Rp 750.000
Selama tahun 2017, Tuan Abdullah memperoleh penghasilan sebagai berikut:
Desain Rumah proyek Bougenville | Rp 30.000.000 |
Desain Apartemen Nyonya A | Rp 120.000.000 |
Desain Rumah Tinggal Nyonya B | Rp 50.000.000 |
Untuk pekerjaan dari Nyonya A dan Nyonya B tidak mendapatkan bukti potong karena pemberi kerja adalah Wajib Pajak Orang Pribadi.
Besarnya PPh terutang yang masih harus dibayar Tuan Abdullah adalah sebesar:
Penghasilan Bruto | Rp 200.000.000 |
Norma Penghitungan Penghasilan Neto (50% x Penghasilan Bruto) | Rp 100.000.000 |
Penghasilan Neto | Rp 100.000.000 (sama dengan nominal diatas) |
PTKP (TK/0) | Rp 54.000.000 |
Penghasilan Kena Pajak | Rp 46.000.000 |
Tarif 5% | Rp 2.300.000 |
Kredit PPh 21 | Rp 750.000 |
PPh yang harus dibayar | Rp 1.550.000 |
Setelah mengetahui cara menghitung dari pajak arsitek, jangan lupa untuk lapor pajak Anda menggunakan pajak.io secara gratis.